Sejarah Persib Bandung

Persib Bandung (Persatuan Sepak Bola Indonesia Bandung) adalah sebuah tim sepak bola Indonesia terbesar yang berdiri pada 14 Maret 1933, klub ini berbasis di Bandung, Jawa Barat. Persib saat ini bermain di Gojek Liga 1 Indonesia dan Piala Indonesia. Julukan mereka adalah Maung Bandung dan Pangeran Biru.

Sejarah Persib Bandung

Sebelum bernama Persib Bandung, di Kota Bandung berdiri Bandoeng Inlandsche Voetbal Bond (BIVB) pada sekitar tahun 1923. BIVB ini merupakan salah satu organisasi perjuangan kaum nasionalis pada masa itu. Tercatat sebagai Ketua Umum BIVB adalah Mr. Syamsudin yang kemudian diteruskan oleh putra pejuang wanita Dewi Sartika, yakni R. Atot.

Atot pulalah yang tercatat sebagai Komisaris Daerah Jawa Barat yang pertama. BIVB memanfaatkan lapangan Tegallega di depan tribun pacuan kuda. Tim BIVB ini beberapa kali mengadakan pertandingan di luar kota seperti Yogyakarta dan Jatinegara, Jakarta.

Pada tanggal 19 April 1930, BIVB bersama dengan VIJ Jakarta, SIVB (Persebaya), MIVB (PPSM Magelang), MVB (PSM Madiun), VVB (Persis Solo), dan PSM (PSIM Yogyakarta) turut membidani kelahiran PSSI dalam pertemuan yang diadakan di Societeit Hadiprojo Yogyakarta. BIVB dalam pertemuan tersebut diwakili oleh Mr. Syamsuddin. Setahun kemudian kompetisi tahunan antar kota/perserikatan diselenggarakan. BIVB berhasil masuk final kompetisi perserikatan pada tahun 1933 meski kalah dari VIJ Jakarta.

BIVB kemudian menghilang dan muncul dua perkumpulan lain yang juga diwarnai nasionalisme Indonesia yakni Persatuan Sepak bola Indonesia Bandung (PSIB) dan National Voetball Bond (NVB). Pada tanggal 14 Maret 1933, kedua perkumpulan itu sepakat melakukan fusi dan lahirlah perkumpulan yang bernama Persib yang kemudian memilih Anwar St. Pamoentjak sebagai Ketua Umum. Klub-klub yang bergabung ke dalam Persib adalah SIAP, Soenda, Singgalang, Diana, Matahari, OVU, RAN, HBOM, JOP, MALTA, dan Merapi.

Persib kembali masuk final kompetisi perserikatan pada tahun 1934, dan kembali kalah dari VIJ Jakarta. Dua tahun kemudian Persib kembali masuk final dan menderita kekalahan dari Persis Solo. Baru pada tahun 1937, Persib berhasil menjadi juara kompetisi setelah di final membalas kekalahan atas Persis.

Di Bandung pada masa itu juga sudah berdiri perkumpulan sepak bola yang dimotori oleh orang-orang Belanda yakni Voetbal Bond Bandung & Omstreken (VBBO). Perkumpulan ini kerap memandang rendah Persib. Seolah-olah Persib merupakan perkumpulan "kelas dua". VBBO sering mengejek Persib. Maklumlah pertandingan-pertandingan yang dilangsungkan oleh Persib ketika itu sering dilakukan di pinggiran Bandung, seperti Tegallega dan Ciroyom. Masyarakat pun ketika itu lebih suka menyaksikan pertandingan yang digelar VBBO. Lokasi pertandingan memang di dalam Kota Bandung dan tentu dianggap lebih bergengsi, yaitu dua lapangan di pusat kota, UNI dan SIDOLIG.

Persib memenangkan "perang dingin" dan menjadi perkumpulan sepak bola satu-satunya bagi masyarakat Bandung dan sekitarnya. Klub-klub yang tadinya bernaung di bawah VBBO seperti UNI dan SIDOLIG pun bergabung dengan Persib. Bahkan VBBO (sempat berganti menjadi PSBS sebagai suatu strategi) kemudian menyerahkan pula lapangan yang biasa mereka pergunakan untuk bertanding yakni Lapangan UNI, Lapangan SIDOLIG (kini Stadion Persib), dan Lapangan SPARTA (kini Stadion Siliwangi). Situasi ini tentu saja mengukuhkan eksistensi Persib di Bandung.

Ketika Indonesia jatuh ke tangan Jepang, kegiatan persepak bolaan yang dinaungi organisasi dihentikan dan organisasinya dibredel. Hal ini tidak hanya terjadi di Bandung melainkan juga di seluruh tanah air. Dengan sendirinya Persib mengalami masa vakum. Apalagi Pemerintah Kolonial Jepang pun mendirikan perkumpulan baru yang menaungi kegiatan olahraga ketika itu yakni Rengo Tai Iku Kai.

Tapi sebagai organisasi bernapaskan perjuangan, Persib tidak takluk begitu saja pada keinginan Jepang. Memang nama Persib secara resmi berganti dengan nama yang berbahasa Jepang tadi. Tapi semangat juang, tujuan dan misi Persib sebagai sarana perjuangan tidak berubah sedikitpun.

Pada masa Revolusi Fisik, setelah Indonesia merdeka, Persib kembali menunjukkan eksistensinya. Situasi dan kondisi saat itu memaksa Persib untuk tidak hanya eksis di Bandung. Melainkan tersebar di berbagai kota, sehingga ada Persib di Tasikmalaya, Persib di Sumedang, dan Persib di Yogyakarta. Pada masa itu prajurit-prajurit Siliwangi hijrah ke ibukota perjuangan Yogyakarta.

Baru tahun 1948 Persib kembali berdiri di Bandung, kota kelahiran yang kemudian membesarkannya. Rongrongan Belanda kembali datang, VBBO diupayakan hidup lagi oleh Belanda (NICA) meski dengan nama yang berbahasa Indonesia Persib sebagai bagian dari kekuatan perjuangan nasional tentu saja dengan sekuat tenaga berusaha menggagalkan upaya tersebut. Pada masa pendudukan NICA tersebut, Persib didirikan kembali atas usaha antara lain, dokter Musa, Munadi, H. Alexa, Rd. Sugeng dengan Ketua Munadi.

Perjuangan Persib rupanya berhasil, sehingga di Bandung hanya ada satu perkumpulan sepak bola yakni Persib yang dilandasi semangat nasionalisme. Untuk kepentingan pengelolaan organisasi, dekade 50-an ini pun mencatat kejadian penting. Pada periode 1953-1957 itulah Persib mengakhiri masa pindah-pindah sekretariat. Wali Kota Bandung saat itu R. Enoch, membangun Sekretariat Persib di Cilentah. Sebelum akhirnya atas upaya R. Soendoro, Persib berhasil memiliki sekretariat Persib yang sampai sekarang berada di Jalan Gurame.

Pada masa itu, reputasi Persib sebagai salah satu jawara kompetisi perserikatan mulai dibangun. Selama kompetisi perserikatan, Persib tercatat pernah menjadi juara sebanyak empat kali yaitu pada tahun 1961, 1986, 1990, dan pada kompetisi terakhir pada tahun 1994. Selain itu Persib berhasil menjadi tim peringkat kedua pada tahun 1950, 1959, 1966, 1983, dan 1985.

Keperkasaan tim Persib yang dikomandoi Robby Darwis pada kompetisi perserikatan terakhir terus berlanjut dengan keberhasilan mereka merengkuh juara Liga Indonesia pertama pada tahun 1995. Persib yang saat itu tidak diperkuat pemain asing berhasil menembus dominasi tim tim eks galatama yang merajai babak penyisihan dan menempatkan tujuh tim di babak delapan besar. Persib akhirnya tampil menjadi juara setelah mengalahkan Petrokimia Putra melalui gol yang diciptakan oleh Sutiono Lamso pada menit ke-76.

Sayangnya setelah juara, prestasi Persib cenderung menurun. Puncaknya terjadi saat mereka hampir saja terdegradasi ke Divisi I pada tahun 2003. Beruntung, melalui drama babak playoff, tim berkostum biru-biru ini berhasil bertahan di Divisi Utama.

Sebagai tim yang dikenal baik, Persib juga dikenal sebagai klub yang sering menjadi penyumbang pemain ke tim nasional baik yunior maupun senior. Sederet nama seperti Risnandar Soendoro, Nandar Iskandar, Adeng Hudaya, Herry Kiswanto, Ajat Sudrajat, Yusuf Bachtiar, Dadang Kurnia, Robby Darwis, Budiman, Nur'alim, Yaris Riyadi hingga generasi Erik Setiawan dan Eka Ramdani merupakan sebagian pemain timnas hasil binaan Persib. Sampai saat ini Persib Bandung adalah tim Indonesia yang bisa di bilang paling dibanggakan oleh Indonesia karena prestasi dan kemampuannya.

Jalan panjang Persib

PERSIB Bandung selalu punya tempat istimewa di hati bolamania nasional. Kekaguman dan kecintaan mereka, para penggila sepak bola nasional, menyebar ke seantero negeri. Melewati batas wilayah Bandung dan Jawa Barat, tempat jagoan Bandung dibidani. Kemegahan sepak bolanya tidak mampu ditepis. Selalu memanggil dan menggali perhatian para pecandu sepak bola nasional untuk tidak sekejap pun melepaskan perhatiannya pada sosok Persib Bandung.

Tak peduli prestasinya tengah tenggelam, pesona Pangeran Biru julukan lain Persib Bandung– tetap membius bolamania nasional. Stadion Siliwangi, Bandung, markas keramatnya, tidak pernah sepi dari dendang riang penggilanya. Bobotoh setianya tetap saja tumplek dan menyatu di sana. Tidak sekalipun mereka pergi menjauh. Apalagi berpaling hati. Tetap setia mendampingi timnya mesti air mata terus mengucur.

Yang paling fenomenal Stadion Utama Senayan, Jakarta, selalu penuh oleh ribuan pendukung Persib dan bolamania nasional, jika jagoan Bandung menembus babak final Divisi Perserikatan dan Divisi Utama Liga Indonesia. Menjadi aset penyelenggara pertandingan yang paling menggiurkan adalah ikon yang tidak terbantahkan. Tidak terhapus oleh zaman.

“Sungguh. Kalau siaran langsung sepak bola di Indonesia tidak dibagi rata antar stasiun televisi nasional, banyak stasiun yang ingin membeli hak siar pertandingan Persib,” jelas Asdedi, salah seorang produser televisi ANTV, sebelum hak siar jatuh ke stasiun televisi tersebut.

Tak aneh serombongan pemain nasional atau mantan nasional, bahkan yang baru muncul sekalipun di pentas sepak bola nasional, berlomba-lomba melamar untuk melebur ke tim “Maung Bandung”. Mereka percaya, namanya bakal cepat berkibar, dikenal banyak orang dan kembali dilirik tim nasional karena bisa mendarat di tim dengan reputasi besar di pentas sepak bola nasional.

”Persib adalah tim besar. Permainannya cantik. Pendukungnya luar biasa. Nama besarnya di pentas sepak bola nasional adalah garansi bagi kami untuk bisa menembus level nasional. Bermain di Persib adalah kesempatan besar mengembangkan karier sepak bola,” begitu ungkapan umum yang biasa dilontarkan pemain pendatang ketika pertama kali meleburkan dirinya dengan tim pujaan masyarakat Bandung dan Jawa Barat.

Back on track, begitulah fenomena yang menyertai langkah para pemain di tim Persib. Kebersamaan mereka menyemburkan hasrat berprestasi tinggi. Menggelorakan asa dan menjulangkan harkat diri sebagai pemain sepak bola jempolan yang beredar di pentas nasional. Hingga masa edarnya di Divisi Utama semakin panjang. Yang pada gilirannya menjadi salah satu legenda di semua hajatan kompetisi yang diakui PSSI.

“Saya memang banyak memperkuat klub yang beredar di Liga Indonesia. Tapi terasa tidak lengkap karier sepak bola saya karena tidak bisa menjadi bagian Persib. Padahal, saya begitu bernafsu ingin membela Persib setelah sukses bersama Bandung Raya. Entah kenapa manajemen tim Persib tidak sekalipun mau memalingkan pilihan pada diri saya,” sembur Kisito Piere Olinga ‘Kopa’ Atangana.

Besarnya animo pemain berlabuh di lambung “Maung Bandung” membuktikan Persib tim yang tak pernah terpinggirkan. Selalu jadi dambaan dan fokus utama pengembangan karier sepak bolanya. Mengenakan kaus kebesaran “Maung Bandung” praktis gengsi pemain melambung tinggi. Sekejap saja, mereka bisa jadi selebritis. Diburu tanda tangannya. Dimintakan wajahnya untuk menghiasi berbagai layar kaca. Baik itu di stasiun televisi lokal atau di telepon genggam berfasilitas kamera yang selalu dibawa bobotoh-nya.

Selain karena Persib sudah menjadi ikon Jawa Barat, iklim sepak bolanya penuh warna. Benar-benar colourfull. Meriah sejak pembentukan tim hingga kompetisi usai digelar. Sejarah besarnya di pentas sepak bola nasional, dan fanatisme pendukungnya luar biasa adalah magnet yang tidak bisa dielakan begitu saja oleh pecandu bola nasional.

“Atmosfer sepak bola di Bandung benar-benar jempolan. Saya begitu kagum melihat dukungan penonton yang hebat dan luar biasa. Tidak hanya di partai sesungguhnya di ajang kompetisi, di partai uji coba pun penonton melimpah dan membludak hingga pinggir lapangan. Hebat,” puji Redouane Barkaoui, tukang gedor “Maung Bandung” asal Maroko.

“Atmosfer sepak bola di Bandung memang tiada duanya. Hasrat bobotoh mendukung timnya patut diapresiasi dengan prestasi membanggakan. Dukungan bobotoh yang tidak pernah surut adalah motivator utama saya dalam mengibarkan sepak bola prestasi bersama Persib”, sambung Christian Bekamenga Bekamengo, pemain asing termahal di Persib .

Perhatian bolamania nasional kepada Persib memang tidak pernah putus. Tradisi juara yang melekat di dirinya memungkinkan Persib terus menjadi bagian tidak terpisahkan dari masyarakat sepak bola Indonesia. Apa yang dibuat dan dihamparkan Persib, selalu jadi tolak ukur persepak bolaan nasional. Geliat Persib pasti mengundang orang untuk menengok. Dan memberikan perhatian lebih untuk lebih dalam menyimak dapur pacu jagoan Bandung.

Tak aneh, dalam setiap hajatan sepak bola tingkat nasional, kehadiran jagoan Bandung selalu mendapat perhatian lebih dari bolamania nasional. Namanya selalu disebut-sebut jadi kandidat kuat mengalungkan gelar juara pada setiap hajatan sepak bola nasional yang diikutinya. Buntutnya lahirlah stigma yang berlaku umum di jagad sepak bola nasional.

Apa? Ini : Lebih baik kalah dari tim lain ketimbang dari Persib. Sukses mengalahkan Persib adalah kemenangan luar biasa. Bahkan nilai minimal yang dipetik tim lawan saat merumput di Stadion Siliwangi, kerap diidentikan dengan sebuah kemenangan. Melulu karena, Persib bukan tim sembarangan. Kualitas sepak bolanya mumpuni. Orkestra sepak bolanya, indah dan menghayutkan lawan-lawannya. Memberi kabar buruk pada lawan adalah kabisanya.

Indikatornya kemeriahan prestasi yang mengitari Persib Bandung sepanjang partisipasinya di pentas sepak bola nasional. Untuk pentas Divisi Utama Perserikatan misalnya, Persib mengalungi gelar juara sebanyak lima kali. Gelar itu disunting jagoan Bandung tahun 1937, 1961, 1986, 1990, 1994. Bahkan kompetisi Liga Indonesia perdana 1994/95 menjadi milik Persib, usai mematahkan perlawanan tim elit Petro Kimia Putra 1-0 di partai final lewat gol semata wayang yang disunting bomber Sutiono Lamso.

Tentu, bukan hanya event itu yang mewarnai perjalanan prestasi “Maung Bandung”. Masih banyak pentas lainnya yang memberi suka bagi penggila fanatiknya. Juara Surya Cup (Surabaya) 1978 digapai usai mematahkan perlawanan Persija 1-0. Gol emas itu disumbangkan Max Timesela. Dua tahun sebelumnya, gelar yang sama juga dipetik jagoan Bandung. Yusuf Cup 1975 dan 1977 juga dipuncaki anak-anak Bandung.

Bahkan, usai jadi runner-up Yusuf Cup VIII/1979, setahun kemudian Persib mencuri gelar juara di turnamen kebanggaan masyarakat Ujung Pandang. Masih pada tahun yang sama, Piala Gubernur Sumatera Selatan juga masuk ke lemari prestasi Persib meski jagoan Bandung hanya nangkring di peringkat ketiga.

“Sepanjang ingatan saya, hanya turnamen Marah Halim Cup (Medan) yang tidak pernah bisa di raih Persib. Tapi di turnamen lainnya yang tersebar di banyak daerah, macam Yusuf Cup (Makasar) dan Tugu Muda (Semarang), Persib sempat tampil sebagai juara,” cerita Encas Tonif, mantan pemain Persib era 70-an/80-an.

Di ajang regional, pesona Persib pun merona. Tahun 1986, usai Persib memuncaki kompetisi Perserikatan Divisi Utama, Piala Sultan Khasanah Bolkiah berhasil dibawa pulang ke Bumi Pajajaran. Di partai final, Persib yang mendapat tenaga tambahan dari libero terbaik Indonesia saat itu Herry Kiswanto, mengalahkan tim nasional Malaysia. Gol kemenangan jagoan Bandung dilesakan Yusuf Bachtiar, yang kemudian melegenda sebagai dirijen utama Persib di Liga Indonesia.

“Kita bisa menjadi juara di Piala Sultan Hasanal Bolkiah karena Persib memang sedang di puncak prestasi. Dan memenuhi pra syarat sebagai tim juara. Di semua lini permainan tidak ada sama sekali celah yang bisa mengandaskan impian kami dalam mengibarkan sepak bola prestasi. Teknis dan non teknis jempolan. Tidak ada sama sekali ganjalan untuk menjadi the champion. Juara memang tinggal menunggu waktu saja,” ungkap Bambang Sukowiyono.

Di ajang Piala Champion Asia 1995 aksi anak-anak Bandung pun gilang-gemilang. Tim besutan Indra M. Thohir membukakan mata sepak bola internasional. Bermodalkan dua kemenangan atas Bangkok Bank (Thailand) dan Pasay City (Filipina) pesaingnya di babak awal Persib yang datang dengan status tim amatir, di antara para raksasa Asia dengan sepak bola profesionalnya, mampu merangsek hingga babak perempatfinal wilayah Timur yang digelar di Stadion Siliwangi.

Sayang, tim pujaan masyarakat Tatar Pasundan tidak mampu berbuat lebih banyak lagi. Langkah raksasa mereka pun terhenti sampai di situ, setelah Verdy Kawasaki (Jepang) memberi luka 1-3, ditundukan Thai Farmers Bank (Thailand) 2-3, dan dihempang Ilhwa Chunwa (Korea Selatan) 1-4. Kendati begitu, Persib masih bisa tersenyum. Karena Indra M Thohir, sang sutradara terpilih sebagai pelatih terbaik Asia versi AFC (Asosiasi Sepak bola Asia).

“Kalah dan terhenti di babak perempatfinal Wilayah Timur memang sudah diprediksi. Lawan yang kita hadapi, kualitasnya jauh di atas lawan-lawan Persib di babak penyisihan sebelumnya. Tapi, apapun adanya, langkah Persib sudah terekam dalam sejarah perhelatan Piala Champion Asia. Tim amatir tetapi mentalnya sangat profesional, sulit dilahirkan lagi dalam waktu yang relatif pendek,” jelas Asep Kustiana, yang merobek gawang Chunwa lewat titik penalti.

1930-1990an: Persib dan Kompetisi Perserikatan
Selain menjadi deklarator berdirinya PSSI pada tanggal 19 April 1930 di Yogyakarta, Persib pun berperan besar dalam mendorong PSSI untuk menggelar kompetisi antar perserikatan yang menjadi anggotanya. Pada tahun 1937, kompetisi reguler yang sudah dirintis jauh-jauh hari itu akhirnya terlaksana. Kompetisi Perserikatan pertama digelar di Solo dan Persib tampil sebagai kampiun.

Tonggak sejarah emas itu ditorehkan Persib setelah menghancurkan raksasa sepak bola Indonesia ketika itu, Persis Solo 2-1 di Stadion Sriwedari, Solo. Berdasarkan sejumlah catatan yang ditemukan, sejumlah nama pemain yang memperkuat Persib di partai tersebut antara lain Enang Durasid, Komar, Jasin, Arifin, Kucid, Edang, Ibrahim Iskandar, Saban, Sugondo, dan Adang.

Sayang, setahun kemudian Persib gagal mempertahankan gelarnya. Dalam kejuaraan yang kembali dipentaskan di Solo, VIJ Jakarta tampil sebagai kampiun setelah menjungkalkan Persebaya Surabaya. Pada tahun 1939, dalam kejuaraan yang digelar di Yogyakarta, nama Persib kembali muncul, meski hanya menempati peringkat ketiga di bawah Persis dan tuan rumah PSIM. Sejumlah nama pemain yang tercatat memperkuat Persib ketika itu adalah Jasin, Komar, Sugondo, Enang, Durasid, Ana dan Z. Arifin. Pada tahun 1940, nama Persib kembali menghilang catatan.

Memasuki dekade 40-an, situasi politik dalam negeri ketika itu banyak mengganggu jalannya Kompetisi Perserikatan. Apalagi, pemerintahan kolonial Jepang membredel seluruh perkumpulan sepak bola yang ada di tanah air, termasuk PSSI. Setelah Indonesia Merdeka, 17 Agustus 1945, kompetisi belum juga bisa digulirkan, karena pemerintah kolonial Belanda kembali masuk ke Indonesia dengan mendompleng tentara sekutu (NICA). Pada dekade itu, Kompetisi Perserikatan hanya bisa digelar lima kali yaitu pada tahun 1941, 1942, 1943, 1948 dan 1950.

Pada tahun 1941, Persib gagal menjadi yang terbaik, meski kompetisi digelar di Bandung. Ketika itu, Persib kalah bersaing dengan Persis dan Persebaya yang akhirnya tampil sebagai juara dan runner-up. Dalam dua tahun berikutnya, ketika kejuaraan dipentaskan di Surabaya dan Yogyakarta, nama Persib tidak masuk ke posisi “2 Besar” dan Persis kembali menjadi jawara secara berturut-turut. Persis juga tampil sebagai kampiun pada tahun 1948 di Yogyakarta. Tahun 1950, Persib hanya mampu menjadi runner-up dalam kejuaraan yang bersamaan dengan Kongres PSSI di Semarang. Persib gagal tampil sebagai juara setelah dikalahkan Persebaya. Beberapa nama pemain yang membela Persib saat itu antara lain Aang Witarsa, Amung, Anda, Ganda, Freddy Timisella, Sundawa, Toha, Leepel, Smith, Jahja, dan Wagiman.

Pada dekade 50-an, prestasi Persib tidak begitu mencuat. Karena gagal bersaing dengan Persija di tingkat zona, pada tahun 1951, Persib gagal lolos ke putaran final. Setelah hanya mampu menempati peringkat ketiga pada tahun 1952 di Surabaya, 1954 di Jakarta dan 1957 di Padang, Persib mulai menggeliat pada tahun 1959. Sayang, kesempatan untuk meraih gelar juara hilang ketika pada pertandingan terakhir dikalahkan PSM Makassar 1-2 di Lapangan Ikada, Jakarta. Dalam pertandingan itu, Persib sempat unggul lebih dulu lewat gol cepat Omo Suratmo, sebelum PSM membalikkan keadaan melalui dua gol Ramang dan Suwardi Arlan. Sebelum pertandingan penentuan melawan PSM itu, Persib tampil mengesankan dengan membekap Persija 3-1 melalui gol-gol Kiat Shek (menit 7), Parhim (17), Omo Suratmo (72), dan mencukur Persebaya 6-0 lewat sumbangan gol Aang Witarsa, Ade Dana, Kiat Shek, Omo (2 gol) dan Atik di Lapangan Ikada Jakarta. Selanjutkan, ketika bertanding di Padang, Persib mempermalukan tuan rumah PSP 3-2. Namun, pada saat memainkan partai home di Stadion Siliwangi melawan PSIS Semarang, Persib justru menyerah 1-2. Gol Omo pada menit 40, tidak mampu membantu Persib meraih kemenangan atas PSIS. Persib kembali membuka persaingan dengan PSM yang belum terkalahkan setelah mencukur PSMS Medan 8-1 lewat dua gol yang masing-masing dicetak Omo dan Unang, hattrick Parhim serta satu gol tambahan dari Kiat Shek.

Pada musim ini, materi pemain Persib antara lain Hehanusa, Iwan (kiper), Sulaeman, Hafid, Akbar, Rukma, Nandang, Atik, Parhim, Kiat Shek, Omo Suratmo, Sukarna, Aang Witarsa, Ade Dana, dan Unang. Penantian panjang Persib untuk kembali menjuarai Kompetisi Perserikatan berakhir pada tahun 1961. Berbeda dengan musim sebelumnya, kali ini Persib memenangkan persaingan dengan PSM. Di putaran final yang diikuti tujuh kontestan, Persib mencatat 5 kali menang dan sekali imbang untuk mengumpulkan nilai 11, atau satu angka lebih baik ketimbang PSM. Anggota skuat Persib yang mengakhiri paceklik gelar Persib pada tahun 1961 itu adalah Simon Hehanusa, Hermanus, Juju (kiper), Ishak Udin, Iljas Hadade, Rukma, Fatah Hidayat, Sunarto, Him Tjhiang, Ade Dana, Hengki Timisela, Wowo Sunaryo, Nazar, Omo Suratmo, Suhendar, dan Piece Timisela

Lima kemenangan yang diraih Persib pada putaran final dicatat pada saat menghantam Persema Malang 7-1 di Makassar, PSMS Medan 5-3, PSIS Semarang 6-2 di Bandung, Persebaya 2-1 dan Persija 3-1 di Semarang. Satu-satunya hasil imbang yang dicatat Wowo Sunaryo dan kawan-kawan adalah ketika bermain 0-0 dengan PSM dalam sebuah pertandingan yang diwarnai kerusuhan di Makassar. Pertandingan melawan PSM ini terpaksa dihentikan pada menit 85, karena penonton tuan rumah tidak bisa menerima keputusan wasit yang memberikan hukuman penalti setelah seorang pemain belakang mereka menyentuh bola dengan tangan di kotak terlarang.

Setelah itu, prestasi Persib kembali melorot dan gagal mempertahankan gelar pada Kompetisi Perserikatan 1964 dan 1965 di Jakarta. Setahun berikutnya, Persib harus puas menjadi runner up, karena harus kembali mengakui keunggulan PSM Makassar di Jakarta. Begitu juga pada tahun 1967, ketika PSMS tampil sebagai juara dengan menyisihkan Persebaya Surabaya.

Memasuki dekade 1970-an, catatan paling kelam harus dialami Persib. Dalam kurun waktu sepuluh tahun, praktis tidak ada prestasi membanggakan yang diraih. Pada tahun 1971, Persib kalah bersaing dengan PSMS Medan yang akhirnya tampil sebagai juara, Persebaya Surabaya (runner-up), Persija Jakarta (peringkat 3), PSM Makassar (4), PSL Langkat, Persema Malang dan Persipura Jayapura sehingga terlempar dari posisi “4 Besar”. Akibatnya, Persib tidak berhak tampil di Turnamen “Piala Soeharto” yang hanya diikuti oleh empat tim terbaik.

Dua tahun kemudian di Jakarta, Persib hanya mengakhiri kompetisi di peringkat ketujuh dari delapan kontestan dengan rekor sekali menang, sekali imbang dan 5 kali kalah. Satu-satunya kemenangan Persib dicatat pada partai pembuka ketika menjungkalkan juara bertahan, PSMS 3-1. Sedangkan lima kekalahan Persib dialami dari Persija 0-2 yang akhirnya tampil sebagai juara, Persipura Jayapura 0-2, Persebaya Surabaya 0-1, dan PSBI Blitar 0-1. Hasil imbang dicatat ketika bermain 2-2 dengan PSL Langkat. Kegagalan Persib sedikit terobati ketika salah seorang bintang muda Persib, Risnandar Soendoro dinobatkan sebagai pemain terbaik Kompetisi Perserikatan 1973.

Pada Kompetisi Perserikatan 1975, Persib benar-benar kehilangan tempat di jajaran elit sepak bola nasional. Saat itu, Persib tidak mampu meloloskan diri ke putaran final karena hanya menempati peringkat ketiga Pool D babak “18 Besar”. Dari 4 partai yang dimainkan di Stadion Menteng Jakarta, Persib hanya mencatat dua kemenangan dari PSM Makassar 2-0 lewat gol Encas Tonif pada menit 74 dan Teten menit 81 serta Gasko Kolaka 4-0 melalui hattrick Dedi Sutendi dan Akub.

Prestasi Persib kembali meningkat pada musim 1975-1978. Setelah menjuarai babak kualifikasi Grup B di Stadion Siliwangi Bandung dan Stadion Bima Cirebon, Persib lolos ke putaran final. Pada babak kualifikasi ini, Persib mencatat rekor tak terkalahkan dan tak pernah kebobolan dalam empat partai yang dimainkannya. Pada pertandingan pertama, gol-gol yang disumbangkan Atik (menit 29), Nandar Iskandar (41-pen.), Max Timisela (43), Teten (44) dan Herry Kiswanto (60) membawa Persib menundukkan PSKB Binjai 5-0.

Selanjutnya, Persib membantai Persisum Sumbawa 6-0 dan membekap PSM Makassar 3-0 lewat dua gol Tjetjep pada menit 16 dan 59 serta Zulham Effendi, empat menit menjelang pertandingan usai. Pada pertandingan penutup, Persib mengalahkan Perseban Banjarmasin 2-0 melalui gol yang diciptakan Zulham Effendi dan Nandar Iskandar sekaligus memastikan diri lolos ke babak “8 Besar”.

Namun, pada putaran final yang digelar di Jakarta, Persib harus mengubur impiannya lolos ke semifinal. Meski sempat mencatat kemenangan 2-0 atas Persipura lewat gol Atik dan Nandar Iskandar, namun dalam dua pertandingan terakhir, Persib dibekap Persebaya 0-2 dan tuan rumah Persija 0-3. Catatan sekali menang dan 2 kali kalah ini menempatkan Persib di peringkat ketiga Grup G.

Sial buat Persib, mulai tahun 1979, PSSI mulai menerapkan pembagian divisi buat tim-tim perserikatan yang mengharuskan sistem promosi dan degradasi diberlakukan. Ketika itu PSSI menetapkan, Divisi Utama Perserikatan hanya dihuni 5 tim dan tiga tim terbawah di putaran final kompetisi 1978 harus terdegradasi ke Divisi I. Karena hanya menempati peringkat ketiga Grup G, Persib harus menghadapi peringkat ketiga Grup F, Persiraja Banda Aceh untuk mencari tim ketiga yang terlempar ke Divisi I. Dua tim yang otomotis terdegradasi adalah tim juru kunci Grup F PSBI Blitar dan Grup G Persipura Jayapura. Pada partai play-off ini, Persib menyerah 1-2 dari Persiraja yang memaksanya bertarung dari “kampung ke kampung” pada musim kompetisi berikutnya.

Pada musim pertamanya di Divisi I, Persib menjuarai Grup V yang merupakan babak kualifikasi pertama (tingkat zona). Di babak kedua tingkat nasional, Persib bergabung di Grup B bersama Perseden Denpasar, Persigowa Gowa dan PSP Padang. Persib memastikan diri lolos ke babak “6 Besar” setelah mencatat sekali menang, sekali imbang dan sekali kalah di Stadion Sriwedari Solo. Sebagai runner-up Grup B, Persib lolos bersama Perseden.

Lolosnya Persib ke babak “6 Besar” ditentukan pada partai terakhir ketika mengalahkan Perseden 3-0 lewat gol Risnandar melalui titik penalti pada menit 8, Tjetjep (35) dan Ismawadi (42). Dalam dua pertandingan sebelumnya, Persib dikalahkan PSP 0-1 dan bermain imbang 1-1 dengan Persigowa. Gol Persib ke gawang Persigowa dicetak Itang pada menit 42.

Namun, Persib yang tergabung di Grup D babak “6 Besar:, gagal kembali ke Divisi Utama, karena hanya mampu bermain imbang 0-0 dengan PSKB Binjai dan dikalahkan Persipura 1-2. Dalam pertandingan ini, dua gol Persipura dicetak Panus Korwa menit ke-2 dan Hengky Heipon menit 4. Sedangkan gol balasan Persib dicetak Atik pada menit 75.

Pada musim berikutnya, pengurus Persib melakukan terobosan dengan mendatangkan pelatih asal Polandia, Marek Janota. Ketika itu, Marek diberi tugas untuk membina para pemain muda Persib secara berkesinambungan. Kelak, pemain-pemain tersebut akan menjadi tulang punggung Persib senior. Sementara itu, tim Persib senior yang dipimpin Manajer H.M. Ruchiyat dan pelatih Risnandar serta dibantu dua sistennya, Wowo Sunaryo dan Suhendar terus berusaha bangkit.

Setelah berjuang dari tingkat zona, wilayah dan nasional, dengan materi pemain di antaranya Sobur, Adeng Hudaya, Suryamin, Encas Tonif, dan Iwan Sunarya, pada tahun 1980 Persib akhirnya kembali ke Divisi Utama bersama PSIS Semarang, Persema Malang dan PSP Padang untuk melengkapi 6 tim lain di Divisi Utama yaitu Persija Jakarta, PSMS Medan, Persipura Jayapura, PSM Makassar, Persebaya Surabaya dan Persiraja Banda Aceh.

Setelah kembali ke Divisi Utama pada Kompetisi Perserikatan 1983, Persib langsung unjuk gigi. Meski pada putaran pertama Wilayah Barat di Stadion Imam Bonjol, Padang, hanya mencatat sekali kemenangan atas PSP Padang 2-1 (sisanya kalah 1-2 dari PSMS serta bermain imbang 2-2 dengan PSMS dan 0-0 dengan Persija), Persib memastikan diri lolos ke babak “4 Besar”, setelah mencetak 3 kemenangan dan sekali imbang di putaran kedua di Stadion Siliwangi.

Pada pertandingan pertama, gol-gol yang disumbangkan Adeng Hudaya (30), Wolter Sulu (52), Encas Tonif (66) dan Bambang Sukowiyono (72) mengantarkan Persib meraih kemenangan 4-0 atas Persiraja. Selanjutnya, PSP dibabat 5-0 lewat hattrick Adjat Sudradjat pada menit 18, 38 dan 55, serta gol tambahan dari Bambang Sukowiyono (8) dan Robby Darwis (68). PSMS yang akhirnya tampil sebagai juara Wilayah Barat juga ditaklukan dengan skor 3-1 melalui gol Bambang Sukowiyono (12-pen.) dan dua gol Adjat Sudradjat pada menit 22 dan 66. Pada partai pamungkas Wilayah Barat, Persib bermain imbang tanpa gol dengan Persija.

Di babak “4 Besar” yang berlangsung di Stadion Utama Senayan, Persib dan PSMS bergabung dengan dua wakil Wilayah Timur, Persebaya Surabaya dan PSM Makassar. Persib akhirnya lolos ke grandfinal setelah mengalahkan Persebaya 2-1 lewat gol Wawan Karnawan (40) dan Wolter Sulu (60); kembali membekap PSMS 2-1 melalui dua gol yang diborong Adjat Sudradjat dan menghancurkan PSM Makassar 3-0 lewat gol Djafar Sidik (10), Yana Rodiana dan Bambang Sukowiyono (74).

Sebagai tim yang mencatat hasil sempurna, Persib diunggulkan untuk kembali merebut Piala Presiden. Namun, Persib yang tampil impresif akhirnya gagal karena harus mengakui keunggulan PSMS 2-3 melalui drama adu penalti, setelah bermain imbang tanpa gol dalam waktu normal. Dengan materi pemain yang tidak jauh berbeda, Persib mencatat hasil serupa. Pada pertandingan final ulangan, Persib kembali harus berduka karena kembali menyerah 1-2 dalam duel adu penalti dengan PSMS. Dalam waktu normal dan perpanjangan waktu, Persib dan PSMS bermain imbang 2-2 dalam partai final yang disaksikan sekitar 150.000 penonton yang memadati Stadion Utama Senayan.

Dua kegagalan pada musim 1982/1983 dan 1983/1984, tidak membuat Persib patah arang. Pada tahun 1986, Adeng Hudaya dan kawan-kawan akhirnya bisa membumikan Piala Presiden di Bandung setelah di final mengalahkan Perseman Manokwari 1-0 lewat gol tunggal Djadjang Nurdjaman.

Para pemain yang sukses mengakhiri penantian panjang Persib selama seperempat abad itu sebagian besar merupakan hasil binaan Marek Janota. Ketika itu skuat Persib dihuni Sobur, Boyke Adam, Wawan Hermawan (penjaga gawang), Wawan Karnawan, Ade Mulyono, Suryamin, Ujang Mulyana, Sarjono, Adeng Hudaya, Robby Darwis, Yoce Roni, Kornelis, Ajid Hermawan, Ajat Sudradjat, Yana Rodiana, Sam Triawan, Iwan Sunarya, Dede Rosadi, Djadjang Nurdjaman, Bambang Sukowiyono, Suhendar, Kosasih dan Djafar Sidik. Pemain-pemain berbakat itu ditangani pelatih Nandar Iskandar.

Sayang, Piala Presiden gagal dipertahankan Persib pada musim berikutnya, 1986/1987. Setelah lolos ke babak “6 Besar”, Persib gagal lolos ke grandfinal karena hanya berada di peringkat ketiga klasemen akhir. Nilai yang dikumpulkan Persib yaitu 6, hasil sekali menang dan 4 kali seri, sebenarnya sama dengan PSIS Semarang. Namun, karena buruknya produktivitas gol, Persib harus memberikan tempat di grandfinal kepada PSIS yang akhirnya tampil sebagai juara dengan mengalahkan Persebaya 1-0. Dari 5 pertandingan yang dimainkan, Persib hanya mencetak dua gol melalui Adjat Sudradjat ketika bermain imbang 1-1 dengan Persipura dan Adeng Hudaya saat mengalahkan PSIS 1-0.

Pada musim berikutnya, 1987/1988, Persib mencatat hasil serupa. Ketika itu, Persib kalah bersaing dengan Persebaya yang akhirnya tampil sebagai juara dan Persija. Namun, pada musim 1989/1990, Persib kembali unjuk gigi. Di bawah besutan pelatih Ade Dana dan dua asistennya Dede Rusli dan Indra M. Thohir, Persib tampil sebagai kampiun setelah pada babak grandfinal di Stadion Utama Senayan mengalahkan PSM Makassar 2-0 lewat gol bunuh diri Subangkit dan Dede Rosadi.

Mengawali dekade 90-an, Persib mengawali Kompetisi Perserikatan dengan kegagalan. Namun, setelah lolos dari babak reguler Wilayah Barat ke babak “6 Besar” bersama PSMS dan PSDS Deli Serdang, Persib masih sempat lolos ke semifinal berkat kemenangan 2-1 atas Persebaya lewat gol Kekey Zakaria menit ke-7 dan Robby Darwis menit 30 dan menjinakkan PSDS 1-0 melalui gol tunggal Dede Rosadi pada menit 62. Namun, di semifinal, Persib harus mengakui keunggulan PSM Makassar 1-2. Gol Robby Darwis melalui titik penalti pada menit 65 tidak mampu menyelamatkan Persib karena PSM mampu mencetak dua gol melalui Alimudin Usman pada menit 54 lewat titik penalti dan Kaharudin menit 79.

Kegagalan Persib makin lengkap ketika pada pertandingan perebutan tempat ketiga pun dikalahkan Persebaya 1-2. Bagi Persib, peringkat keempat ini menjadi prestasi terburuk sejak kebangkitan di awal dekade 80-an.

Tapi, seperti sudah menjadi garis tangan Persib, kegagalan itu langsung dibayar pada musim 1993/1994. Persib kembali jadi kampiun disertai catatan sejarah, karena musim 1993/1994 merupakan Kompetisi Perserikatan terakhir, sebelum dilebur menjadi Liga Indonesia (LI) pada musim 1994/1995. Persib berhasil membumikan Piala Presiden di Bandung untuk selamanya, setelah di final menjungkalkan PSM Makassar 2-0. Dua gol kemenangan Persib pada partai final yang disaksikan lebih dari 100.000 penonton itu dicetak Yudi Guntara menit ke-26 dan Sutiono Lamso menit 71. Pada partai final itu, pelatih Indra M. Thohir yang didampingi Asisten Pelatih Djadjang Nurdjaman dan Emen Suwarman menurunkan formasi terbaiknya yaitu Aris Rinaldi (kiper); Robby Darwis, Roy Darwis, Yadi Mulyadi (belakang); Dede Iskandar, Nandang Kurnaedi, Asep Kustiana, Yusuf Bachtiar, Yudi Guntara (gelandang), Kekey Zakaria, dan Sutiono Lamso (striker).

1990-an: Bergulirnya Liga Indonesia

Sebuah catatan sejarah dibuat PSSI pada pertengahan dekade 90-an. Setelah bertahun-tahun terjadi dualisme kompetisi yaitu Perserikatan (amatir) dan Galatama (semiprofesional), mulai musim 1994-1995, PSSI memutuskan menggabungkan kedua kompetisi sepak bola di tanah air tersebut dan membuka keran bagi pemain asing. Sebanyak 34 tim, terdiri dari 16 eks Galatama dan 18 eks Perserikatan, tampil dalam kompetisi bernama resmi Liga Indonesia (LI).

Ke-34 peserta dibagi ke dalam dua wilayah, Barat dan Timur. Di Wilayah Barat bercokol Arseto Solo, Bandung Raya, BPD Jateng, Mataram Putra, Medan Jaya, Pelita Jaya Jakarta, Persib Bandung, Persija Jakarta, Persijatim Jakarta Timur, Persiku Kudus, Persiraja Banda Aceh, Persita Tangerang, PS Bengkulu, PSDS Deli Serdang, PSMS Medan, Semen Padang, dan Warna Agung. Sedangkan di Wilayah Timur, ada Arema Malang, Assyabaab Salim Grup Surabaya (ASGS), Barito Putra, Gelora Dewata, Mitra Surabaya, Persebaya Surabaya, Persegres Gresik, Persema Malang, Persiba Balikpapan, Persipura Jayapura, Petrokimia Putra Gresik, PSIM Yogyakarta, PSIR Rembang, PSIS Semarang, PSM Makassar, Pupuk Kaltim Bontang, dan Putra Samarinda.

Ke-17 tim yang berada di masing-masing wilayah harus bertarung secara reguler dalam 32 pertandingan home and away. Empat tim teratas berhak lolos ke babak “8 Besar”, dan dua tim terbawah di masing-masing wilayah degradasi ke Divisi I.

Liga Indonesia/1994-95

Kendati keran pemain asing sudah dibuka lebar-lebar oleh PSSI, namun Persib tetap mengandalkan pemain lokal pada LI I/1994-95. Meskipun demikian, dominasi Persib yang sudah dipancangkan sejak pertengahan dekade 80-an, belum tergoyahkan. Dalam kompetisi gaya baru ini, Robby Darwis dan kawan-kawan tetap menjadi yang terbaik. Di final yang berlangsung di Stadion Utama Senayan, Jakarta, Persib menjungkalkan wakil Galatama, Petrokimia Putra, dengan skor tipis 1-0 lewat gol tunggal Sutiono Lamso pada menit 76.

Sukses tim asuhan Indra M. Thohir menjuarai LI I ini tergolong sangat mengejutkan dan di luar perkiraan banyak pemerhati sepak bola nasional. Selain hanya mengandalkan pemain lokal, sementara tim lain kebanyakan menggunakan jasa pemain asing, Persib pun memulai kompetisi dengan hasil buruk. Pada partai pembuka, Persib dikalahkan Pelita Jaya 0-1 melalui gol tunggal pemain asing asal Yugoslavia (sekarang Serbia-Montenegro), Dejan Gluscevic.

Di babak reguler, dengan mengalami tiga kekalahan, Persib pun hanya lolos ke babak “8 Besar” sebagai runner-up di bawah Pelita Jaya. Setelah lolos ke Senayan, Persib membuka pertandingan Grup B, 20 Juli 1995, dengan hasil imbang tanpa gol dengan Petrokimia Putra. Dalam pertandingan ini, Petrokimia Putra menurunkan dua pemain asing andalannya, Jacksen F. Tiago (Brasil) dan penjaga gawang asal Trinidad & Tobago, Darryl Sinerine. Sementara pada pertandingan lain, ASGS membekap Medan Jaya 2-1.

Persib baru membuka peluang lolos ke semifinal setelah pada partai kedua, 23 Juli 1995, menundukkan Medan Jaya 2-1 dan pada pertandingan lain, Petrokimia Putra kembali bermain imbang 2-2 dengan ASGS. Hasil ini membuat persaingan perebutan dua tiket dari Grup B semakin panas, terutama tiga tim yang masih punya peluang yaitu Persib, ASGS dan Petrokimia Putra.

Pada partai penentuan, 26 Juli 1995, Persib tampil luar biasa ketika membekap pimpinan klasemen sementara, ASGS dengan skor telak 3-0, sekaligus menempatkan diri di babak semifinal sebagai juara Grup B. Persib akhirnya didampingi Petrokimia Putra yang menang 3-0 atas Medan Jaya.

Di babak semifinal, 28 Juli 1995, Persib bertemu Barito Putra yang menjadi runner-up Grup A. Dalam pertandingan yang berlangsung sengit, Persib akhirnya berhasil mematahkan perlawanan keras Barito Putra lewat gol tunggal Kekey Zakaria. Dengan seabreg tudingan Persib diselamatkan wasit pada babak semifinal, Robby Darwis dan kawan-kawan melenggang ke partai puncak untuk kembali berhadapan dengan Petrokimia Putra yang menyingkirkan Pupuk Kaltim 1-0 berkat gol tunggal Widodo Cahyono Putro.

Pada partai puncak, 30 Juli 1995, Persib masuk ke lapangan di bawah sorak sorai puluhan ribu bobotoh yang memadati Stadion Utama Senayan Jakarta. Seperti partai-partai sebelumnya, pada pertandingan final, pelatih Indra M. Thohir menurunkan the winning team; Anwar Sanusi (kiper), Mulyana, Robby Darwis, Yadi Mulyadi (belakang), Dede Iskandar, Nandang Kurnaedi, Yudi Guntara, Asep Kustiana, Yusuf Bachtiar (tengah), Kekey Zakaria, dan Sutiono Lamso (depan).

Diwarnai kontroversi dianulirnya gol Jacksen F. Tiago, Persib akhirnya kembali menorehkan sejarah dengan menjuarai LI jilid pertama, setelah Sutiono Lamso menjebol gawang Petrokimia Putra pada menit 76. Hingga pertandingan usai, Petrokimia Putra gagal membuat gol balasan, yang membuat ribuan bobotoh berpesta pora di Stadion Utama Senayan Jakarta. Pesta serupa juga terjadi di Bandung dan seantero Jawa Barat.

Bagi Sutiono Lamso, golnya ke gawang Petrokimia Putra itu melengkapi koleksi golnya pada musim itu menjadi 21 gol. Sebuah rekor yang hingga saat ini belum terpecahkan oleh striker Persib lainnya.

Berkat keberhasilannya menjadi juara LI, Persib menjadi wakil Indonesia di kancah Piala Champions Asia. Di ajang ini, Persib sukses mencapai babak perempatfinal Wilayah Timur, salah satunya dengan menyingkirkan juara bertahan, Bangkok Bank (Thailand), di babak penyisihan.

Liga Indonesia 1995-96

Pada LI II/1995-96, pengurus Persib melakukan pergantian pelatih. Setelah mengantarkan Persib menjuarai LII/1995-96 dan perempatfinal Piala Champions Asia, Indra M. Thohir lengser. Sebagai penggantinya, Risnandar Soendoro melakukan langkah-langkah regenerasi dengan menyelipkan sejumlah pemain muda seperti Yaris Riyadi, Imam Riyadi dan Dadang Hidayat ke dalam skuat yang masih didominasi muka-muka lama.

Adapun pasukan Risnandar pada LI/II 1995-96 adalah Anwar Sanusi, Gatot Prasetyo (kiper), Nandang Kurnaedi, Hendra Komara, Roy Darwis, Mulyana, Robby Darwis, Nana Supriatna, Yadi Mulyadi, Dadang Hidayat (belakang), Yusuf Bachtiar, Yudi Guntara, Asep Kustiana, Asep Sumantri, Yaya Sunarya, Imam Riyadi, Yaris Riyadi, Mustika Hadi, Gengen (tengah), Sutiono Lamso, Kekey Zakaria, Asep Dayat, Asep Poni, dan Dadang Rusmana (depan).

Setelah menyelesaikan 28 pertandingan di babak reguler Wilayah Barat, Persib menempati peringkat ketiga klasemen akhir dengan catatan 13 menang, 11 seri dan 4 kali kalah. Dari wilayah Barat, Persib lolos ke babak “12 Besar” bersama Mastrans Bandung Raya, Pelita Jaya Jakarta, Persita Tangerang, Persikab Kab. Bandung dan Mataram Indocement. Sedangkan 6 tim yang lolos dari Wilayah Timur adalah PSM Makassar, Mitra Surabaya, Pupuk Kaltim Bontang, Gelora Dewata, Persipura Jayapura dan Putra Samarinda.

Di babak “12 Besar” yang dibagi ke dalam tiga grup, Persib bergabung di Grup C bersama tuan rumah PSM, Persipura dan Mataram Indocement. Pada pertandingan pembuka di Stadion Mattoangin, Makassar, 24 September 1996, Persib langsung ditekuk Persipura 1-2. Sementara pada pertandingan lain, PSM membekap Mataram Indocement 1-0.

Dua hari kemudian, 26 September 1996, Persib bangkit sekaligus membuka peluang untuk lolos ke babak semifinal sebagai runner-up terbaik, setelah memukul Mataram Indocement 2-0. Tiket semifinal di grup ini akhirnya menjadi milik PSM setelah pada hari yang sama mencatat kemenangan 1-0 atas Persipura.

Sayang, Persib akhirnya harus gagal mempertahankan gelar juara yang direbut tahun sebelumnya, karena pada partai penentuan, 28 September 1996, Robby Darwis dan kawan-kawan harus mengakui keunggulan PSM 0-1. PSM akhirnya didampingi Persipura ke babak semifinal setelah menjadi runner-up terbaik usai membantai Mataram Indocement 4-0.

Liga Indonesia 1996-97

Pergantian pelatih Persib kembali terjadi di awal perhelatan Liga Indonesia (LI) III/1996-97. Pengurus Persib kali ini menunjuk Nandar Iskandar sebagai arsitek “Maung Bandung”. Ketika itu, pengurus Persib juga memutuskan mengontrak Nandar untuk dua musim sekaligus.

Berbeda dengan dua musim sebelumnya, LI III dibagi ke dalam tiga wilayah, Barat, Tengah dan Timur, masing-masing diikuti 11 klub. Bermaterikan pemain yang tidak jauh berbeda dengan musim sebelumnya, Nandar sukses membawa Persib menjuarai Wilayah Tengah dengan catatan 8 kali menang, 10 imbang dan 2 kali kalah. Sebagai juara Wilayah Tengah, Persib lolos ke babak “12 Besar” bersama Pelita Jaya Mastrans, Mitra Surabaya dan Barito Putra. Dari wilayah lain, tim-tim yang lolos ke babak “12 Besar” adalah Persebaya Surabaya, Bandung Raya, Arema Malang, Persiraja Banda Aceh (Barat), PSM Makassar, Gelora Dewata, Persma Manado dan Persipura Jayapura (Timur).

Sebagai juara Wilayah Tengah, Persib mendapat jatah tuan rumah di babak “12 Besar”. Robby Darwis dan kawan-kawan menjadi tuan rumah Grup B menjamu tiga kontestan lainnya, Bandung Raya, Persma Manado dan Barito Putra.

Sayang, Persib gagal memanfaatkan keuntungan sebagai tuan rumah. Setelah menang 1-0 dari Barito Putra pada partai pembuka, 13 Juli 1997, Persib hanya mampu bermain imbang tanpa gol dengan Bandung Raya, 15 Juli 1997, dan Persma, 17 Juli 1997. Akibatnya, Persib harus merelakan tempatnya di semifinal kepada rival sekotanya, Bandung Raya yang membekap Persma 3-0 dan Barito Putra 2-0. Dengan nilai 5, hasil sekali menang dan 2 seri, Persib harus puas menjadi runner-up Grup B di bawah Bandung Raya yang mengumpulkan nilai 7.

Bandung Raya yang merupakan juara bertahan akhirnya terus melaju hingga partai puncak sebelum ditundukkan Persebaya Surabaya 1-3 di Stadion Utama Senayan, Jakarta, 28 Juli 1997.

Liga Indonesia 1997-98

Kendati masih “mengharamkan” pemain asing, pada Liga Indonesia (LI) IV/1997-98, Persib mulai membuka keran bagi pemain yang bukan binaan sendiri. Ketika itu, pelatih Nandar Iskandar memboyong beberapa pemain dari luar Jawa Barat untuk memperkuat skuat yang ada. Maka, bergabunglah dua pemain PSMS Medan, M. Halim (kiper) dan Khair Rifo, striker Bandung Raya, Peri Sandria dan Surya Lesmana, gelandang asal Persijatim Jakarta Timur, Iskandar dan mantan striker Petrokimia Putra dan Barito Putra, Gatot Indra.

Namun, kedatangan para pemain dari luar Jawa Barat itu justru menimbulkan persoalan yang mengganggu keharmonisan tim. Akibat perlakuan yang berbeda antara pemain pendatang dan pemain binaan Persib, gap di antara para pemain pun terjadi. Pemain lokal binaan Persib mulai cemburu dengan perbedaan perlakuan pengurus.

Akibatnya, perjalanan Persib di LI IV pun mulai gontai. Tergabung di Wilayah Tengah, Persib mengalami lima kekalahan dalam 15 partai awal yang dimainkannya. Catatan terburuk dalam empat musim terakhir. Ini membuat posisi Nandar terancam. Bahkan, ratusan bobotoh sempat menghadiahkan karangan bunga kematian buat Nandar.

Namun, Nandar selamat dari kecaman yang lebih hebat. Pasalnya, PSSI akhirnya memutuskan untuk menghentikan kompetisi pada tanggal 25 Mei 1998, akibat kerusuhan sosial yang melanda Indonesia. Ketika itu, Persib baru memainkan 15 partai dengan catatan 6 kali menang, 4 seri dan 5 kali kalah dan tertahan di peringkat kelima klasemen sementara.

Liga Indonesia 1998-99

Memasuki LI V/1998-99, persiapan Persib diwarnai konflik internal yang berkepanjangan. Lantaran ketidakjelasan manajemen tim, sejumlah pilar Persib, khususnya yang bukan pemain binaan seperti M. Halim, Iskandar, Surya Lesmana, Giman Nurjaman, Khair Rifo dan Gatot Indra memilih hengkang.

Tidak hanya itu, para pemain binaan sendiri yang selama ini menjadi ikon Persib turut kabur. Para pemain yang terpaksa pergi dengan hati terluka, akibat perselisihan dengan manajemen tim itu adalah Robby Darwis, Yadi Mulyadi, Gatot Prasetyo, Asep Dayat dan Hendra Komara.

Akibat kehilangan banyak pilar, Persib yang ketika itu ditangani pelatih debutan M. Suryamin dan Manajer H.M. Sanusi tampil di LI V dengan kekuatan compang-camping. Plus kondisi internal tim yang sudah tidak kondusif, serta munculnya faktor klenik dalam mempersiapkan tim, Persib mengalami keterpurukan dan harus kehilangan tempat di jajaran elit sepak bola nasional.

Bahkan, setelah memainkan 6 dari 8 pertandingan yang harus dijalani, Persib yang tergabung di Wilayah Barat Grup B nyaris terlempar ke Divisi I. Dalam enam pertandingan itu, Nana Priatna dan kawan-kawan hanya mencatat hasil 2 kali menang, sekali seri dan 3 kali kalah. Beruntung, Persib masih bisa menghindari degradasi setelah mencatat kemenangan 3-1 atas Persita Tangerang di Stadion Benteng, Tangerang, 7 Februari 1999. Meski pada partai terakhir kembali kalah 1-3 dari Persija di Stadion Siliwangi, Persib tetap selamat dan tiket degradasi menjadi milik Persita.

Liga Indonesia 1999-00

Meski nyaris terdegradasi, pelatih M. Suryamin masih dipertahankan Persib pada LI VI/1999-00. Namun, karena besarnya pengaruh faktor klenik dalam perjalanan tim serta buruknya prestasi Nandang Kurnaedi dan kawan-kawan dalam lima pertandingan awal, Suryamin akhirnya harus lengser. Akibat tekanan publik, pers, dan pengurus, Suryamin akhirnya menyatakan mengundurkan diri. Suryamin mundur setelah Persib dikalahkan Persita dan Persikab 0-1, dua kali imbang lawan Indocement Cirebon dan Medan Jaya serta dibekap Semen Padang 0-3.

Pada saat konferensi pers pengunduran dirinya di Sekretariat Persib, Jalan Gurame Bandung, Suryamin menyatakan ia terpaksa menanggalkan jabatannya sebagai pelatih Persib karena merasa didzalimi semua orang, termasuk pers yang dinilai selalu memojokkannya. “Celakalah bagi orang-orang yang telah berbuat dzalim,” hardik Suryamin yang ketika itu terlihat sangat emosional.

Menyusul pengunduran diri Suryamin di tengah jalan, pengurus Persib akhirnya menunjuk Indra M. Thohir sebagai penggantinya. Inilah kejadian pertama kali pengurus Persib melakukan pergantian pelatih di tengah jalan sepanjang sejarah perjalanan LI.

Ditangani pelatih yang membawa Persib menjuarai LI I/1994-95, prestasi Persib secara perlahan mulai menanjak. Kendati demikian, hampir sepanjang kompetisi, bayang-bayang degradasi masih tetap menghantui Persib. Mulyana dan kawan-kawan baru bisa keluar dari ancaman degradasi dalam empat pertandingan terakhir.

Kemenangan dalam menahan PSP Padang 0-0 di Padang (18/5/00), Persib mencatat tiga pertandingan kandang secara beruntun yaitu dengan membekap Persijatim 2-0, (28/5/00), PSBL 3-0 (1/6/00) dan Indocement Cirebon 1-0 (8/6/00), sekaligus mengamankan tempat di Divisi Utama musim berikutnya. Di akhir kompetisi reguler Wilayah Barat, Persib berada di posisi 8 dengan nilai 32, hasil 8 kali menang, 8 seri dan 10 kali kalah.

Liga Indonesia 2001

Berhasil menyelamatkan Persib dari ancaman degradasi, Indra M. Thohir kembali dipercaya menangani “Maung Bandung” pada LI VII/2001. Untuk memperkuat skuatnya, Indra Thohir merekrut beberapa pemain anyar seperti Abdus Shobur, Luis Simoes, Nana Setia dan mantan pemain Pelita Jakarta. Yang sedikit menghebohkan, Indra Thohir juga memanggil kembali gelandang mungil, Yusuf Bachtiar yang sudah lama absen membela Persib.

Meski sempat mengundang pertanyaan di kalangan bobotoh, namun Thohir tetap pada keputusannya. Hasilnya, Persib kembali masuk ke jajaran elit sepak bola nasional setelah memastikan diri lolos ke babak “8 Besar”. Yaris Riyadi dan kawan-kawan lolos ke babak “8 Besar” setelah menempati peringkat ketiga klasemen akhir Wilayah Barat dengan catatan 15 kali menang, 2 seri dan 9 kali kalah.

Di babak “8 Besar” Persib bergabung di Grup A bersama tuan rumah PSMS Medan, Persebaya Surabaya dan Barito Putra. Bertanding di Stadion Teladan Medan, Persib sempat membuka harapan untuk lolos ke semifinal, ketika pada pertandingan pembuka, (26/9/01), membekap Barito Putra 2-1 lewat gol Mulyana dan Yaris Riyadi.

Namun, pada partai kedua, (28/9/01), Persib harus mengakui keunggulan tuan rumah PSMS Medan 0-1. Kekalahan itu membuat Persib harus menjalani partai hidup-mati melawan Persebaya yang juga mencatat hasil sekali menang 1-0 atas Barito Putra dan kalah 1-2 dari PSMS. Dalam pertandingan penentuan itu, baik Persib maupun Persebaya wajib meraih kemenangan untuk mendampingi PSMS lolos ke semifinal.

Tapi, dalam pertarungan yang berlangsung sengit, (30/9/01), Persib dan Persebaya bermain imbang 0-0 dalam waktu 2 x 45 menit. Karena sama-sama mengumpulkan nilai 4 dengan selisih gol yang sama 2-2, pertandingan terpaksa harus diselesaikan melalui perpanjangan waktu. Petaka buat Persib akhirnya datang pada menit 115, ketika Reinold Pieters menjebol gawang Persib yang dikawal Anwar Sanusi. Gol Reinald itu tak bisa disamakan hingga pertandingan usai dan Persib harus merelakan tempatnya di babak semifinal kepada Persebaya.

“Gol itu terasa sangat menyakitkan. Sebab, gol itu membuat kita gagal berangkat ke Senayan,” kenang penjaga gawang Persib, Anwar Sanusi.

Liga Indonesia 2002

Pada LI VIII/2002, gerakan regenerasi dilakukan pengurus terhadap jajaran pelatih. Indra M. Thohir yang mengantarkan Persib lolos ke babak “8 Besar” LI VII/2001 tidak dipertahankan. Sebagai gantinya, pengurus Persib menunjuk trio pelatih muda, Denny Syamsudin, Dedi Sutendi dan Lukas Tumbuan.

Berdasarkan prestasi Persib pada musim sebelumnya, untuk LI VIII/2002, pengurus Persib membebankan target kepada Denny Syamsudin yang bertindak sebagai pelatih kepala untuk lolos ke babak “8 Besar”. Untuk menopang target tersebut, Persib pun mendatangkan sejumlah pemain bintang seperti Ansyari Lubis, Budiman, Widiantoro, Heri Rafni Kotari dan Hari Saputra. Ketiga pemain tersebut melengkapi muka-muka lama macam Yaris Riyadi, Sujana, Ruhiat, Dadang Hidayat, Asep Dayat dan Suwita Pata.

Dengan materi pemain yang dimilikinya, Denny sebenarnya bisa melanjutkan tradisi yang dibuat Indra M. Thohir sebelumnya, yaitu tak pernah kalah di kandang sendiri. Dari 11 partai kandang yang dimainkannya, Persib mencatat rekor 8 kali menang dan 3 seri. Sayang, hasil mengesankan pada partai home itu berbanding terbalik dengan hasil-hasil di luar kandang. Kekalahan demi kekalahan yang dialami Persib pada pertandingan away membuat Persib terpuruk dan bahkan hantu degradasi mulai membayangi sejak pertengahan musim.

Persib baru bisa menghindarkan diri dari ancaman degradasi pada tanggal 5 Mei 2002, setelah mencatat kemenangan dengan “skor aneh” 5-0 atas tetangganya, Persikab Kab. Bandung di Stadion Siliwangi. Lima gol Persib yang disumbangkan Ansyari Lubis, Sujana (2 gol), Ruhiat dan Yaris Riyadi dengan mudah menjebol gawang Persikab yang dikawal kiper Jajang Sinar Surya.

Tuduhan adanya “main mata” pun mencuat. Pasalnya, ketika itu Persikab sudah dipastikan degradasi ke Divisi I menyusul hasil buruk sepanjang kompetisi. “Ketika itu, memang ada pembicaraan tingkat tinggi di antara para pengurus Persib dan Persikab untuk menyelamatkan Persib dari ancaman degradasi,” kata salah seorang pemain Persikab yang meminta namanya dirahasiakan. Meski sudah ada pengakuan dari kubu Persikab, namun tudingan tersebut tentu saja dibantah kubu Persib.

Setelah lepas dari ancaman degradasi, pada partai pamungkas, Persib akhirnya bisa menghindari rekor buruk tak pernah menang di kandang lawan. Pada tanggal 12 Mei 2002, dua gol Sujana dan Heri Rafni Kotari ke gawang PSBL Bandar Lampung di Stadion Pahoman, mengantarkan Persib untuk pertama kalinya mencatat kemenangan tandang. Persib mengakhiri LI VIII/2002 di peringkat ke-8 dari 12 kontestan Wilayah Barat dengan rekor sekali menang, 2 seri dan 8 kali kalah pada partai tandang.

Liga Indonesia 2003

Revolusi besar-besaran yang cenderung spekulatif dilakukan pengurus Persib pada LI IX/2003. Setelah delapan musim selalu mengandalkan pelatih dan pemain lokal, pengurus Persib melakukan langkah bersejarah dengan merekrut pelatih dan pemain asing. Terinspirasi kesuksesan pelatih asal Polandia, Marek Janota, yang melahirkan banyak bintang Persib di awal dekade 80-an, pada LI IX/2003, pengurus menunjuk Marek Andrejz Sledzianowski untuk menangani “””Maung Bandung”””.

Sejarah lain yang dibuat Persib pada LI IX/2003 adalah dibukanya keran bagi pemain asing. Marek yang pada awalnya diproyeksikan untuk menangani pemain Persib U-23 yang akan tampil di Pekan Olahraga Daerah (Porda) IX/2003 di Indramayu, memboyong pemain asing yang juga berasal dari Polandia. Kwartet Polandia, Mariusz Mucharski, Pawel Bocian, Piotr Orlinski dan Maciej Dolega menjadi pemain asing pertama yang berkostum Persib.

Tak ayal, kehadiran pelatih dan pemain asing di Persib telah memunculkan euforia kesuksesan di kalangan bobotoh. Seperti pada awal dekade 80-an, bobotoh berharap, era keemasan Persib bakal kembali. Mereka berharap, Marek Andrejz bisa kembali melahirkan banyak bintang baru seperti ketika Marek Janota memunculkan nama-nama seperti Robby Darwis, Adjat Sudradjat, Adeng Hudaya, Iwan Sunarya, Djafar Sidik, Bambang Sukowiyono dan pemain lain yang membuat Persib berkibar pada tahun 1986.

Tapi, harapan tinggal harapan. Keberanian Marek memasukan nama-nama pemain muda yang masih hijau seperti Yosef Nandang, Rahman F., Jaenal Abidin, Jaja Hidayat dan Eka Santika ternyata tak membuahkan hasil. Keputusan mendepak Yaris Riyadi, Suwita Pata, Cecep Supriatna, Sujana dan sejumlah pemain lain yang merupakan ikon Persib malah membawa Persib pada kehancuran. Pada masa “kepemimpinan” Marek, Persib mencatat sejarah paling kelam sepanjang sejarah; melewati 12 pertandingan beruntun tanpa kemenangan sekalipun!

Hasil buruk itu membuat kepanikan melanda Persib. Bobotoh yang kecewa dengan prestasi Dadang Hidayat dan kawan-kawan langsung berteriak; “Ganti Marek!”. Meski terkesan ragu, atas desakan bobotoh, setelah sempat melarang mendampingi tim dalam empat partai away melawan PSS Sleman, Persijatim Solo FC, Arema Malang dan Perseden Denpasar, pengurus dan manajemen tim akhirnya memecat Marek. Sebagai gantinya, untuk sementara pengurus mempercayakan kepada dua asisten Marek, Bambang Sukowiyono dan Iwan Sunarya.

Ketika duet Suko-Iwan menangani tim, pengurus dan manajemen tim sudah mendapatkan pengganti Marek. Dia adalah pelatih asal Cili, Juan Antonio Paez. Kendati sudah bergabung dengan tim, Paez belum terjun langsung. Ia hanya mendampingi tim sebagai Direktur Teknik yang bertugas memberikan masukan kepada duet pelatih Suko-Iwan. Baru setelah pengurus dan manajemen tim akhirnya mencopot Suko dan Iwan menjelang akhir putaran pertama, Paez mulai menangani tim secara langsung.

Setelah Suko dan Iwan dicopot, Paez praktis bekerja sendirian menangani tim. Dalam setengah putaran, Paez mengemban misi sulit; mengangkat Persib dari posisi paling buncit, sekaligus menyelamatkan diri dari ancaman degradasi. Setelah menunjuk Yaya Sunarya dan Kun Syanto sebagai asisten pelatih, Paez dan manajemen tim langsung mengambil langkah cepat dengan melakukan perombakan tim. Pemain-pemain yang dinilai tidak berguna dicoret dan digantikan dengan pemain anyar.

Kendati sempat menyisakan masalah menyangkut pembayaran sisa kontrak, manajemen tim akhirnya mencoret tiga pemain Polandia yang masih tersisa, Mariusz Mucharski, Piotr Orlinski dan Maciej Dolega di penghujung putaran pertama. Pemain lokal yang turut terdepak adalah Yosep Nandang, Jaja Hidayat, dan Rahman F. Sebagai gantinya, manajemen Persib mengimpor pemain asing baru asal Cili, Alejandro Tobar, Rodrigo Lemunao (kemudian dicoret lagi), Rodrigo Alejandro Sanhueza dan Claudio Lizama. Untuk pemain lokal, Paez merekrut pemain yang sudah jadi macam Marwal Iskandar, Suwandi H.S., Mulyono Geroda, dan penjaga gawang Agus Setiawan.

Dengan kekuatan baru, yang jauh berbeda dengan putaran pertama, Persib mulai bangkit. Setelah sempat tertatih-tatih di awal putaran kedua, Persib benar-benar bangkit memasuki bulan Juli. Setelah bermain imbang dengan PSS Sleman 1-1, Dadang Hidayat dan kawan-kawan membekap Persijatim Solo FC. Berikutnya, Persib membuat catatan tak terkalahkan dalam delapan partai selanjutnya, termasuk sukses menahan juara bertahan Petrokimia Putra dan mengalahkan Barito Putra di kandangnya.

Namun, akibat kekalahan 0-4 dari Persik Kediri dan 0-1 dari PSIS Semarang dalam dua partai terakhir, Persib gagal keluar dari zona degradasi. Persib mengakhiri kompetisi di peringkat ke-16 dari 20 tim yang mengikuti kompetisi satu wilayah. Kalau mengacu kepada aturan awal PSSI yang menyebutkan enam tim terbawah langsung terdegradasi, mestinya riwayat Persib di Divisi Utama sudah berakhir.

Beruntung buat Persib, pada pertengahan musim, PSSI sudah mengubah aturan tim yang terdegradasi dari 6 menjadi 4 tim. Dua tim yang menempati peringkat 15 dan 16 masih diberi kesempatan melalui babak play-off dengan peringkat dua tim Divisi II di Stadion Manahan Solo, untuk memperebutkan dua tiket di Divisi Utama. Ada kabar, diadakannya babak play-off ini merupakan salah satu upaya PSSI untuk menyelamatkan Persib dari ancaman degradasi. Isu tersebut tentu saja dibantah oleh Trie Goestoro, Sekjen PSSI ketika itu.

Setelah memainkan tiga partai play-off, Persib akhirnya selamat dari aib besar terlempar ke Divisi I seperti yang pernah terjadi pada tahun 1978. Persib lolos dari degradasi setelah mencatat kemenangan 1-0 atas Persela Lamongan dan PSIM Yogyakarta serta bermain imbang 4-4 dengan Perseden Denpasar.

Liga Indonesia 2004

Sukses menyelamatkan Persib dari ancaman degradasi di babak play-off, Juan Antonio Paez dianggap sebagai pahlawan oleh bobotoh. Meski sebagian pengurus tidak setuju dengan sebutan pahlawan, karena menilai lolosnya Persib dari degradasi berkat lobi mereka ke PSSI, namun Paez tetap dipercaya menangani Persib pada LI X/2004. Sebagian besar pemain yang dianggap berjasa menyelamatkan Persib pada LI IX/2003 pun tetap dipertahankan, termasuk Alejandro Tobar dan Claudio Lizama.

Untuk melengkapi lima kuota pemain asing, Paez mendatangkan striker haus gol asal PSIS Semarang, Julio Lopez, serta Angelo Andres Espinoza dan Adrian Colombo. Dari jajaran pemain lokal, manajemen Persib juga merekrut dua mantan pemain nasional, Alexander Pulalo dan Imran Nahumaruri. Selain itu, Persib pun memulangkan sejumlah ikon Persib yang sempat hengkang pada LI IX/2003 seperti Suwita Pata (PSS Sleman), Yaris Riyadi (Pelita KS) dan Cecep Supriatna (Persijatim Solo FC). Pemain binaan Persib lainnya yang berhasil dipulangkan adalah Usep Munandar, Deden Hermawan (Barito Putra), Erik Setiawan (Persebaya Surabaya) dan Andi Supendi (Persija Jakarta).

Berbeda dengan musim sebelumnya, kali ini materi pemain Persib dinilai sangat menjanjikan. Dengan format kompetisi satu wilayah, prestasi Persib mulai menanjak. Hantu degradasi yang selalu membayangi Persib dalam dua musim terakhir tidak lagi muncul. Meski tidak terlalu fantastis, Persib mulai bisa bersaing di papan atas lagi.

Namun, di tengah perjalanan, badai besar mulai menerpa kapal bernama Persib. Disertai berbagai intrik, sejumlah masalah mulai mencuat ke permukaan. Insiden mundurnya pelatih kiper, Boyke Adam dari tim menjadi awal munculnya gesekan antara Paez, pengurus dan manajemen tim Persib. Paez merasa, pencoretan Boyke merupakan intrik tingkat tinggi dalam upaya menjatuhkan dirinya.

Gesekan Paez dengan pengurus dan manajemen tim semakin meruncing, ketika Manajer H.M. Sanusi menyatakan mengundurkan diri menjelang putaran pertama berakhir. Alasan H. Uci, sapaan akrabnya, adalah kesibukannya. Tapi, sejumlah pemain dan ofisial tim Persib ketika itu mengakui kalau Paez dan H. Uci sempat terlibat “perang mulut” di Wisma Puri Asri, mes Persib pada malam sebelum pengunduran dirinya.

“Pada malam harinya (sebelum mundur), Paez dan H. Uci sempat dor dar di sini (Wisma Puri Asri). Ketika itu terdengar ada ancaman dari Paez, dia (Paez) yang mundur atau H. Uci,” kata salah seorang pilar Persib di LI X/2004.

Perseteruan terselubung di dalam tim membuat suasana tidak kondusif. Langkah Persib pun mulai limbung dihantam berbagai persoalan yang seharusnya tidak terjadi ketika prestasi tim sedang menanjak. Menjelang akhir putaran pertama, persoalan semakin meruncing ketika di luar dugaan Persib memulangkan Julio Lopez dan Adrian Colombo. Padahal, kinerja duet striker Persib itu pada putaran pertama sangat baik. Colombo dan Lopez merupakan pencetak gol tersubur dengan masing-masing 9 dan 7 gol. Ketika itu, Paez beralasan, pencoretan Colombo karena cedera yang dialaminya, sedangkan Lopez karena persoalan pribadinya.

Selain Colombo dan Lopez, Paez mendepak juga tiga pemain lainnya yaitu Andi Supendi, Dadang Sudradjat dan Angelo Andres Espinoza. Sebagai gantinya, Persib mendatangkan duet striker baru, Osvaldo Moreno (Paraguay) dan Cristian Molina (Cili). Mantan pemain Bandung Raya dan tim nasional, Nuralim, juga turut direkrut untuk memperkuat lini pertahanan.

Setelah itu, Paez sendiri sempat menyatakan mundur dari tim usai Persib mengalahkan Persipura Jayapura 1-0 di Stadion Siliwangi (8/8/04), karena merasa dirinya sudah tidak mendapat dukungan lagi dari pengurus. “Semuanya menyerang saya. Lebih baik saya mundur dari tim, demi kebaikan Persib,” kata Paez.

Namun, setelah diadakan pembicaraan tingkat tinggi di Hotel Grand Hyatt, pengurus meminta Paez untuk melanjutkan tugasnya, setidaknya hingga akhir musim. Paez memang melunak, tetapi karena kondisi tim sudah tidak kondusif, akibat terus diterpa berbagai persoalan dan intrik hampir di sepanjang musim, langkah Persib mulai gontai di putaran kedua. Beruntung, dalam situasi seperti itu, Persib mampu bertahan untuk mengakhiri kompetisi di peringkat keenam dengan nilai 49, hasi; 12 kali menang, 13 seri dan 9 kalah.

Sebenarnya, prestasi yang diraih Persib kali ini jauh lebih baik ketimbang musim sebelumnya. Sayang, prestasi lumayan itu tercoreng oleh rekor tak pernah menang dalam partai away. Sesuatu yang baru pertama kali terjadi sepanjang sejarah LI. Dari 17 partai tandang dimainkan, Persib hanya bisa meraih nilai 8, hasil dari 8 kali seri dan 9 kali kalah.

Liga Indonesia 2005

Kendati masih ingin menangani Persib pada LI XI/2005, Juan Antonio Paez akhirnya terdepak. Sebagai gantinya, pengurus kembali menunjuk pelatih lokal. Meski demikian, pelatih yang ditunjuk itu tetap muka lama. Dia adalah Indra M. Thohir, pelatih yang dianggap bertangan dingin karena sukses membawa Persib menjuarai LI I/1994-95 dan lolos ke babak “8 Besar” LI VII/1999-00.

Penunjukan Indra Thohir sebagai pelatih tidak terlepas dari harapan ia bisa kembali mengangkat prestasi Persib ke puncak tertinggi. Seperti halnya pengurus yang sudah rindu gelar juara, bobotoh pun punya harapan serupa. Mereka berharap, di bawah penanganan Thohir, setidaknya Persib bisa kembali lolos ke babak “8 Besar” yang menjadi simbol jajaran elit persepak bolaan nasional.

Di bawah penanganan Thohir dan Manajer Ir. Chandra Solehan, Persib nyaris tanpa gejolak. Kecuali isu munculnya gerakan “Asal Bukan Cili” yang membuat Paez dan dua pemain asal Cili, Alejandro Tobar, Claudio Lizama dan Cristian Molina terdepak, perubahan nama-nama pemain dalam skuat Persib tidak terlalu banyak diperdebatkan publik. Begitu juga ketika Alexander Pulalo, Imran Nahumaruri, Nuralim dan Suwandi H.S. memilih hengkang ke klub lain.

Dalam menyusun skuatnya, seperti di LI I dan LI VII, Thohir lebih percaya pada kekuatan lokal. Karena itu, muka-muka lama seperti Yaris Riyadi, Suwita Pata, Dadang Hidayat, Cecep Supriatna, Erik Setiawan, Usep Munandar, Deden Hermawan, Asep Dayat, Imral Usman dan Gilang Angga Kusuma dipertahankannya. Di luar itu, Thohir juga memulangkan Boy Jati Asmara (Persipura Jayapura), Eka Ramdani (Persijatim Solo FC), Aceng Juanda (PSS Sleman), Edi Hafid Murtado (Persitara Jakarta Utara) dan Cucu Hidayat (Persikad Depok) ke Bandung.

Untuk memperkuat materi pemain lokal yang dimilikinya, Thohir dan manajemen tim tetap mengoptimalkan kuota lima pemain asing dari PSSI. Setelah sempat membidik dua pemain tim nasional Singapura asal Nigeria, Itimi Dickson dan Agu Casmir, Persib akhirnya mendapatkan Antonio “Toyo” Claudio, Uilian Souza Da Silva (Brasil), Pradith Taweetchai (Thailand), Ekene Michael Ikenwa (Nigeria), dan Chioma Kingsley (Burkina Faso) yang masuk belakangan.

Dibantu duet asisten pelatih Bambang Sukowiyono dan Encas Tonif, Thohir mulai menyulap pasukannya menjadi tim yang disegani. Dengan filosofi simple football-nya, Thohir berhasil mempertahankan rekor tak terkalahkan dalam partai kandang yang dibuat Juan Antonio Paez pada musim sebelumnya. Hingga menjelang akhir kompetisi, Persib pun terus bersaing di papan atas Wilayah Barat dan bahkan nyaris lolos ke babak “8 Besar”.

Tapi, harapan bobotoh untuk melihat kembali Persib bertarung di babak “8 Besar” akhirnya harus sirna, ketika Persib harus kehilangan angka pada saat bermain imbang 1-1 dengan PSMS Medan di Stadion Siliwangi. Kegagalan Persib masuk ke jajaran elit nasional benar-benar musnah, ketika dalam dua pertandingan terakhir di kandang lawan dibekap Arema Malang 0-1 dan dinyatakan kalah walk over (WO) dari Persija Jakarta, karena Dadang Hidayat dan kawan-kawan tidak bisa hadir di Stadion Lebak Bulus gara-gara teror berlebihan The Jakmania. Akhirnya, Persib harus puas berada di peringkat kelima klasemen akhir Wilayah Barat dengan catatan 10 kali menang, 8 seri dan 8 kekalahan. Persib kalah bersaing dengan Persija Jakarta, Arema Malang, PSIS Semarang dan PSMS Medan yang akhirnya mewakili Wilayah Barat ke babak “8 Besar”.

Liga Indonesia 2006

Pada LI XII/2006, Risnandar Soendoro kembali naik tahta. Persis seperti sepuluh tahun sebelumnya, kali ini pun Risnandar menerima tongkat estafet kepelatihan Persib dari Indra M. Thohir. Sayang, prestasi Risnandar yang sempat membawa Persib lolos ke babak “12 Besar”, gagal terulang. Malahan, Risnandar harus mengalami nasib tragis, karena harus menanggalkan jabatannya sebagai pelatih, ketika baru memimpin Persib dalam dua pertandingan awal. Risnandar menorehkan rekor sebagai pelatih tersingkat yang menangani Persib, memecahkan catatan Suryamin di LI VI/1999-00.

Risnandar terpaksa harus mengundurkan diri karena desakan ribuan bobotoh yang melakukan aksi unjuk rasa besar-besaran di Stadion Siliwangi, sesaat setelah Charis Yulianto dan kawan-kawan mengalami kekalahan kedua dari Persijap Jepara 0-1. Pada pertandingan pembuka LI XII di Stadion Siliwangi, Persib juga dibekap PSIS Semarang dengan skor 1-2.

Kendati sebelumnya sempat mengungkapkan bakal mundur jika Persib mengalami tiga kekalahan beruntun, namun Risnandar mengambil keputusan lebih cepat. “Demi kebaikan Persib, saya tidak harus menunggu hingga pertandingan ketiga,” kata pelatih yang juga mengalami hal yang sama ketika menangani Persikab Kab. Bandung di LI VI/1999-00.

Sebagai bentuk rasa tanggung jawab, keputusan mundur Risnandar juga diikuti asistennya, Encas Tonif. Untuk mengisi kekosongan pelatih saat menjalani pertandingan away di Medan dan Deli Serdang, untuk sementara pengurus Persib menunjuk pelatih Persib U-23, Djadjang Nurdjaman untuk mendampingi Dedi Sutendi, asisten pelatih Risnandar yang masih tetap berada di tim.

Setelah mengalami kekalahan 2-1 dari PSMS Medan dan 4-1 dari PSDS Deli Serdang, pengurus Persib akhirnya merekrut mantan pelatih Persija Jakarta, Arcan Iurie Anatolievici untuk melanjutkan tugas Risnandar. Sedangkan Djadjang dan Dedi dipercaya menjadi asistennya. Pengurus dan manajemen tim Persib berharap, pelatih asal Moldova yang sukses membawa Persija menjadi runner-up LI XI/2005.

Untuk memperkuat skuatnya, Iurie merekrut dua tambahan pemain asing yaitu penjaga gawang Kosin Hattahairathanakool (Thailand) dan striker Reduoane Barkaoui (Maroko). Dua legiun asing tersebut melengkapi tiga pemain asing yang dimiliki Persib sebelumnya yaitu Antonio Claudio (Brasil), Nipont Chanrawut dan Pradith Taweetchai (Thailand).

Di bawah penanganan Iurie, Persib yang memiliki materi pemain cukup bagus, langsung menggeliat. Pada pertandingan perdananya, Iurie sukses memberikan kemenangan, ketika membekap PSIM Yogyakarta 2-0 di Stadion Mandala Krida, Yogyakarta, lewat dua gol Zaenal Arief dan Gendut Doni Christiawan.

Euforia kebangkitan Persib terasa semakin kencang pada saat Persib memainkan dua partai kandang berikutnya. Meski dengan susah payah, Salim Alaydrus dan kawan-kawan membekap Arema Malang 1-0 dan Persekabpas Pasuruan 3-2. Pada pertandingan away, Persib pun berhasil menahan Persija Jakarta di Stadion Lebak Bulus dan Persikota Tangerang di Stadion Benteng.

Namun, memasuki partai keenamnya di bawah besutan Iurie, kinerja Persib kembali melorot. Bermain imbang tanpa gol dengan Sriwijaya FC. Dalam sebuah pertandingan tanpa penonton di lapangan Pusdikpom Cimahi. Kemenangan 1-0 atas Semen Padang melalui tendangan penalti Barkaoui pada pertandingan berikutnya mulai memunculkan keraguan banyak kalangan menyangkut kinerja Iurie. Dalam dua partai penutup putaran pertama, Persib juga dibekap Persita 2-1 dan Persitara Jakarta Utara 3-1.

Memasuki putaran kedua, Iurie memutuskan mendepak Pradith Taweetchai dan Nipont Chanarwut yang dinilai kurang memberikan kontribusi terhadap tim. Selain dua pemain Thailand itu, Boy Jati Asmara dan Anwarudin ikut hengkang karena gerah selalu diparkir di bangku cadangan. Sebagai gantinya, Iurie mendatangkan dua pemain asing baru, Brahima Traore dari Burkina Faso dan Ayouck Loius Berty dari Kamerun.

Namun, kehadiran dua pemain asing itu tidak membuat kinerja Persib meningkat. Malahan, Ayouck dan Brahima lebih banyak duduk di bangku cadangan karena sering dibekap cedera dan gagal bersaing dengan pemain lainnya. Dalam enam pertandingan awal putaran kedua, empat di antaranya partai kandang, Persib tak sekalipun mencatat kemenangan.

Akibat kegagalan meraih kemenangan dalam delapan partai secara berturut-turut, Persib langsung terjerembab ke posisi juru kunci. Meski sempat menang 2-1 atas Persikota Tangerang di Stadion Siliwangi, namun kekalahan 1-3 dari Arema dan 0-1 dari Persekabpas membuat Persib berada di ujung tanduk. Ancaman degradasi mulai nyata membayang di depan mata. Ketika itu, bobotoh dan publik sepak bola Bandung mulai pasrah menerima bencana besar itu.

“Sekarang, bobotoh sudah tahu kalau Persib elehan (kalah terus). Karena itu, kita sudah pasrah menerima kenyataan pahit Persib akan terdegradasi ke Divisi I. Meski demikian, kita tidak akan menarik dukungan terhadap Persib,” kata Heru Joko, Ketua Umum Viking Persib Fans Club.

Tapi, nasib baik kembali menaungi Persib. Pada tanggal 27 Mei 2006, gempa bumi mengguncang Yogyakarta dan sejumlah kota lain di Jawa Tengah. Akibat bencana tersebut, kota Yogyakarta porak-poranda. Dua tim Divisi Utama asal Yogyakarta, PSIM Yogyakarta dan PSS Sleman serta satu tim Divisi I, Persiban Bantul pun terkena dampaknya. Ketiga tim tersebut akhirnya menyatakan mundur dari kompetisi sebagai bentuk solidaritas terhadap warga Yogyakarta yang dilanda bencana.

Sebagai bentuk keprihatinan dan rasa solidaritas, setelah melalui perdebatan sengit, PSSI dan Badan Liga Indonesia (BLI) akhirnya mengambil sebuah keputusan kontroversial dengan menghapuskan sistem degradasi pada LI XII/2006. Meski dengan malu-malu, keputusan PSSI dan BLI itu disambut senyum tipis kubu Persib. “Inilah yang namanya bencana membawa berkah,” kata Manajer Persib, Yossi Irianto.

Setelah keputusan itu diambil dan kompetisi berjalan tanpa tekanan, Persib akhirnya bisa keluar dari zona degradasi setelah mencatat hasil imbang 0-0 dengan Sriwijaya FC di Stadion Gelora Sriwijaya dan membekap Semen Padang 1-0 di Stadion H. Agus Salim. Meski ditutup dengan kekalahan 0-1 dari Persitara Jakarta Utara di Stadion Siliwangi, namun Persib mengakhiri kompetisi di peringkat 12 dari 14 tim di Wilayah Barat, atau satu strip di luar zona degradasi dengan catatan 7 kali menang, 8 seri dan 11 kali kalah.

Liga Indonesia 2007

Kendati dianggap gagal, namun duet pelatih Arcan Iurie Anatolievici dan Manajer Yossi Irianto tetap dipercaya pengurus Persib untuk melanjutkan tugasnya di LI XIII/2007. Tidak mau mengulangi kesalahan yang dilakukan pada musim sebelumnya, terutama dalah hal rekrutmen pemain, Yossi dan Iurie langsung melakukan perburuan pemain yang mereka nilai berkualitas dan bakal mendukung target juara yang dibebankan Ketua Umum Persib, Dada Rosada.

Dari jajaran pemain asing, Persib merekrut Nyeck Nyobe Georges Clement (Kamerun), Patricio Jimenez Diaz, Lorenzo Cabanas (Cili) dan Christian Bekamenga (Kamerun). Keempat pemain itu bergabung dengan Reduoane Barkaoui yang menjadi satu-satunya pemain asing yang dipertahankan. Untuk deretan pemain lokal, Persib memboyong Tema Mursadat (Persikota Tangerang), Nova Arianto (Persebaya Surabaya), Sonny Kurniawan (Persija Jakarta), Bayu Sutha (Persema Malang) dan memulangkan Suwita Pata dari PSIS Semarang serta Aji Nurpijal dari Mitra Kukar.

Kendati demikian, sebagian besar pemain yang memperkuat Persib pada LI XII/2006 tetap dipertahankan. Mereka adalah Cecep Supriatna, Edi Kurnia (kiper), Edi Hafid Murtado, Gilang Angga Kusuma, Cucu Hidayat, Dicky Firasat, Yaris Riyadi, Eka Ramdani, Erik Setiawan, Salim Alaydrus dan Zaenal Arief. Namun, Persib gagal mempertahankan Usep Munandar yang memilih hengkang ke PSMS Medan. Sedangkan Charis Yulianto, Gendut Dony Christiawan, Try Sutrisno, Deden Hermawan, Enjang Ruhiman, Andi Hidayat, Angga Syatari, Antonio Claudio, Ayouck Louis Berty, dan Brahima Traore didepak karena dinilai tidak memberikan kontribusi positif buat tim.

Dengan materi pemain yang dimilikinya, Yossi langsung mencanangkan target kencang. Juara Liga Indonesia sekaligus mengulang prestasi emas “”Maung Bandung”” di pentas sepak bola nasional.“Saya tidak mau terperosok dua kali di lubang yang sama. Kegagalan musim lalu menjadi cambuk untuk menorehkan prestasi pada musim ini,” katanya.

Untuk mewujudkan ambisinya, Yossi langsung melakukan skenario besar yang harus dijalani timnya. Baik dari sisi teknis maupun nonteknis, semuanya digarap serius. Targetnya jelas, memuluskan langkah Persib menuju tahta juara. Gayungpun bersambut. Prestasi Persib berkibar deras. Di kandang prestasinya mewangi. Di partai tandang langkah jagoan Bandung sulit dibendung.

Hasilnya fantastis. Sejak kompetisi digelar, Persib selalu berada di posisi empat besar. Posisinya yang memungkinkan sebuah tim berkesempatan mencicipi gelar juara musim kompetisi tahun ini. Posisi yang makin mendekatkan “”Maung Bandung”” menuju tahta juara. Setelah musim-musim sebelumnya hanya jadi tim penggembira di hajatan sepak bola nasional.

“Kami memang sudah lama merindukan prestasi manis. Menjejaki langkah para senior kami yang sudah pernah mencium tropi Presiden. Musim ini, dengan berserinya prestasi tim, semoga harapan yang terus bertalu di dada bisa kesampaian,” damba Eka Ramdani, gelandang elegan Persib.

Akankah kapal Persib sampai ke Tanjung harapan di akhir musim kompetisi nanti? Kita semua mesti menunggu. Kompetisi Liga Indonesia musim ini banyak melahirkan kejutan. Tidak ada lagi tim yang paling berpeluang menjadi pemuncak kejuaraan. Semuanya punya kemampuan teknis setara dan sama-sama berpeluang jadi juara.

Tidak jumawa lebih bijak ketimbang mengobral optimisme tanpa batas. Pasalnya, semua tim ingin memcatatkan dirinya sebagai tim terakhir yang melabuhkan trofi Presiden, sebelum kompetisi berganti baju menjadi Liga Super. Dengan menjadi juara, namanya bakal tercatat indah dalam buku besar sejarah sepak bola nasional.

“Kami memang sudah menorehkan hasil yang membanggakan. terus bertahan di posisi empat besar sejak kompetisi digulirkan. Tapi, kompetisi masih panjang. Pemain tidak boleh puas dengan hasil yang sudah diraih. Untuk sampai ke tangga juara, masih banyak jalan terjal yang harus dilalui,” tegas Yossi.
Sumber: Wikipedia

Related Posts